Posts from the ‘MADURA’ Category

Petis Madura

petis-madura

Petis Madura.
Pulau Madura merupakan salah satu penghasil Petis yang cukup terkenal. Konon, awal terciptanya petis ini adalah ketidaksengajaan akibat kondisi terdesak para nelayan yang bingung menangani kelebihan tangkapan hasil laut. Lalu muncullah ide untuk merebus hasil tangkapannya itu biar lebih awet. Sisa rebusan produk laut diberi bumbu dan rempah khas madura oleh para istri nelayan, lalu dipanasi hingga kental seperti saus yang padat, dari situlah awalnya petis muncul.
Proses ekstraksi hasil laut, seperti udang, ikan, kupang, lorjuk, kepiting dalam pembuatannya, masih menyisakan kandungan protein dan mineral. Asam glutamat merupakan jenis asam amino yang paling dominan ada dalam petis. Sama seperti asam glutamat yang ada pada bubuk penyedap yang mengandung MSG (mono sodium glutamat). Pantas jika sesendok kecil saja petis dalam masakan, mampu menyumbang rasa umami yang sedap.
Di madura, petis ikan tuna , petis kepiting dan petis lorjuk merupakan produk unggulan karena terbuat dari sari hasil laut pilihan dan di campur dengan rempah rempah pilihan berdasarkan resep asli madura.
Rp 18,000.-
Bagi yg minat bisa WA 08814300607, atau BBM ke 5F66977F
Adi Abu Hafizh.
Untuk Kota Mojokerto, free ongkir

Batik Madura, Warna mencolok vs motif berani

batik-maduraPulau kecil yang terkenal dengan watak manusia yang keras dan terkenal dengan sebutan pulau garam ini memiliki batik yang kualitasnya tidak kalah dengan batik dari Solo, Jogya ataupun Pekalongan. Madura yang memiliki 4 kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep ini sebenarnya mempunyai pengrajin batik dengan ciri khasnya. Tetapi yang paling intensif dalam pemasaran, dan juga jumlah pengrajin yang cukup banyak ada di dua kabupaten yaitu Bangkalan dan Pamekasan.

Dan, setiap kabupaten mempunyai ciri khas masing-masing. Secara sekilas, batik Bangkalan lebih berwarna gelap dengan pewarnaan alami, desainnya pun cenderung konservatif dan klasik seperti desain lama, corak lebih kasar tetapi detail dan penuh, sedangkan untuk batik Pamekasan, lebih berani memilih warna-warna yang keluar dari‘pakem’ seperti orange, hijau menyala, ungu, kuning dan warna lainnya. Untuk desain, batik Pamekasan lebih berani dan bervariasi dan desainnya pun sangat beragam. Pada batik Pamekasan, biasanya juga diisi dengan ‘serat kayu’atau istilahnya mo’ ramo’ (akar-akaran) pada bagian yang kosong dan motif ini yang biasanya banyak disukai konsumen termasuk saya.


Note:  Gambar Kanan = batik Bangkalan (Tanjung Bumi) dan gambar kiri = batik Pamekasan

Jika dibandingkan dengan batik lainnya di nusantara, batik Madura akan kelihatan berbeda. Batik Madura sangat berani dalam warna, kontras dan beradu antar warna, desain tidak monoton dan asimetris, penggambaran desain juga naif dan tidak halus, namun hal seperti itulah yang pada saat ini ramai diburu sehingga tidak mustahil kalau pada saat ini batik Madura banyak peminatnya.

Harga untuk batik Madura sangat bervariasi, mulai dari murah puluhan ribu sampai jutaan, tergantung dari kerumitan desain dan teknik pembatikannya.

Batik yang mahal dengan harga jutaan biasanya juga membutuhkan waktu yang lama dalam pembuatannya, memakai pewarna yang alami (seperti saga dan mengkudu), dibatik dengan 2 kali proses pembatikan untuk luar dan dalam (sehingga tidak ada luar dalam) dan ditempat tertentu seperti Tanjung Bumi Bangkalan, dilakukan perendaman dalam gentong untuk membuat warna lebih awet dan semakin ‘muncul’ apabila dicuci. Teknik gentongan ada di Tanjung Bumi Bangkalan, dan dikenal dengan batik gentongan.

Proses membatik cenderung berbeda antara satu tempat dengan tempat lain yang saya kunjungi. Saat menorehkan malam di atasnya, para perajin tidak menggunakan canting. Mereka menggunakan tangkai kayu yang di ujungnya dililit dengan kapas, mirip cotton bud. Alat itu disebut Las Bilas (cara baca adalah a = e dalam keranjang)

Tidak semua batik Madura itu batik tulis tetapi juga ada bati Cap atau bahasa kerennya batik Printing, jadi jangan sampai keliru dalam memilihnya ada beberapa cara untuk membedakan batik tulis dan batik Cap.

Untuk membedakan batik tulis dengan batik cap-tulis, bagi yang teliti bisa dilihat dari coraknya, batik cap pasti ada sambungan, dan batik cap juga monoton dan simetris. Batik cap biasanya sudah ada jahitan pada tepian kainnya, sedangkan untuk batik yang murni tulis, tidak ada jahitan pada tepi kainnya.

KH Kholil Bangkalan Madura (Syaikhona Mbah Kholil)

Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.

KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Belajar ke Pesantren

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.

Orang yang Mandiri

Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.

Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).

Ke Mekkah

Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.

Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.

Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.

Kembali ke Tanah Air

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.

Geo Sosio Politika

Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?

Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.

Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.

Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.

Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.

Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.

Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).

Karomah Mbah Kholil

Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

1. Membelah Diri

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:

“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.

3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk

Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”

“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.

“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.

“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.

“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.

“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.

Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.

“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”

Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”

Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”

“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.

“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.

Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”

“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.

“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.

“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.

“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.

“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.

Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

Makna Lagu Tanduk Majeng (Madura)

Lagu sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat memiliki dimensi yang sangat kompleks. Dalam kehidupan masyarakat, aktivitas keseharian mereka dapat diekspresikan dalam lagu, sehingga kita dapat melihat banyak corak dan ragam lagu yang diciptakan berkaitan dengan aktivitas yang mengekspresikan mata pencaharian, ekspresi cinta dan kasih sayang, cinta tanah air, keagamaan, kekaguman pada alam, aktivitas politik, hubungan sosial dan lain sebagainya. Indonesia adalah Negara kepulauan dimana pulau-pulau terbentang dari sabang sampai merauke.Selain sebagai Negara Kepulauan,Indonesia juga dapat dikategorikan sebagai Negara maritim,memiliki masyarakat maritim dari berbagai wilayah dan etnis. Masyarakat maritim ini memiliki lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional yang diciptakan sejak dulu sampai sekarang, yang mengekspresikan jiwa kemaritiman mereka.

 Penanaman nilai-nilai dan karakter kemaritiman sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia kepada generasi muda sejak usia dini sampai dewasa melalui tradisi lisan dan pengalaman yang diperoleh dari keikutsertaan dalam kegiatan. Melalui lagu-lagu daerah yang berkaitan dengan kemaritiman ini, kita dapat melihat gambaran kehidupan masyarakat maritim yang beraneka ragam. Melalui lagu-lagu ini pula, masyarakat menanamkan semangat dan jiwa kemaritiman kepada anak-anak dan generasi muda. Pembinaan karakter sebagai bangsa maritim yang kuat dan teguh dapat dilakukan melalui lagu yang sederhana dalam irama yang ringan dan mudah diikuti. Beberapa lagu pop yang menggambarkan kecintaan dan kekaguman pada keindahan laut juga ditulis oleh para musisi pada era setelah kemerdekaan. Pulau Madura ibarat kata “Madunya Nusantara”, yang manis-manis dan yang bermanfaat tentunya ada di pulau tersebut. Pulau Madura yang masyarakatnya termasuk dalam masyarakat maritime ini memiki lagu daerah yang sudah tidak asing lagi bagi semua orang.Lagu daerah yang berjudul “Tondu’ Majang” atau sering disebut “Tanduk Majeng” ini mempunyai makna yang dalam tentang karakter masyarakat Madura dalam melaksanakan kesehariannya sebagai nelayan. Kehidupan mereka sebagai nelayan sangat keras karena harus menghadapi bahaya di laut (atemmo bhabhaja). Untuk menghidupi keluarga, mereka harus berjuang di laut dengan mempertaruhkan nyawa (bhandha nyaba). Untuk memperoleh ikan yang banyak, mereka harus rela hidup di perahu dengan hempasan gelombang dan angin, ibaratnya mereka tidur berbantal ombak dan berselimut angin (abhantal omba’ sapo’ angen). Walau perjuangan di laut sangat keras, mereka selalu berharap dapat kembali berlayar ke Madura. Suku Madura adalah representasi masyarakat pesisir yang keras dan bermental baja. Masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada laut sangat berbeda dengan masyarakat pegunungan/pedalaman yang menggantungkan hidupnya pada tanah. Tanah adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan ditaklukkan oleh para petani pemiliknya, dengan uang. Tetapi laut adalah wilayah yang tidak dapat dibeli oleh nelayan. Laut bagi para nelayan adalah sama dengan tanah bagi para petani, dari segi kepentingannya sebagai tempat melakukan mata pencaharian. Tetapi laut memiliki tantangan yang lebih besar, membutuhkan daya dan semangat baja untuk menaklukkannya. Nelayan, ketika mereka bergerak ke laut, sekalipun telah tertanam di dalam hati tekad kuat untuk pulang ke rumah, tetap saja tidak dapat mengelakkan “kemarahan laut”, dan boleh jadi mereka tidak dapat pulang. Oleh karena itu, dalam lagu di atas, digambarkan betapa gembiranya keluarga nelayan melihat layar putih dari kejauhan. Pastilah itu, bapak, anak, dan handai taulan mereka yang telah pergi berhari-hari, kini pulang membawa seperahu penuh ikan-ikan segar. Sekalipun nelayan telah menganggap ombak laut dan angin laut sebagai “sahabat perjalanannya”, tetap saja tidak dapat menjinakkannya tatkala mereka “tidak bersahabat”. Oleh karenanya, pekerjaan sebagai nelayan adalah sebuah pertaruhan nyawa. Tetapi, sekalipun menjalani pekerjaan yang sangat beresiko, nelayan tidak pernah pensiun menjadi nelayan. Sebab laut pun tidak pernah “kehabisan isi” untuk dimanfaatkan oleh para nelayan. Tidak seperti tanah yang akan hilang kesuburannya apabila tidak diperlakukan dengan bijak, maka laut yang sungguh luas hampir tidak pernah kehabisan ikan dan kekayaan alamnya. Lirik Asli :
Tondu’ Majang Arti lirik lagu :
Tanduk (kekuatan/ kegigihan) Nelayan

Ngapote wak lajereh e tangaleh,
Reng majeng tantona lah pade mole Mon e tengguh deri abid pajelennah,
Mase benyak’ah onggu le ollenah
Duuh mon ajelling odiknah oreng majengan,
Abental ombek asapok angin salanjenggah
Ole…olang, paraonah alajereh,
 Ole…olang, alajereh ka Madure
Reng majeng bennya’ ongggu bebejenena,
 Kabileng alako bendhe nyabenah.
 Ole…olang, Paraonah alajereh,
Ole…olang, Alajereh ka Madureh…
 Layar putih mulai kelihatan Nelayan (pencari ikan) tentulah sudah pada pulang Kalau dihitung dari lamanya perjalanan, Tentu sangat banyak perolehannya (ikan) Duuh kalau dilihat kehidupan pencari ikan (nelayan), Berbantal ombak berselimut angin selamanya (sepanjang malam) Ole… olang, perahunya berlayar, Ole… olang, berlayar ke Madura… Nelayan banyak sekali hambatannya (resiko) Dapat dikatakan bekerja bermodalkan nyawanya Ole… olang, perahunya mau berlayar, Ole… olang, berlayar ke Madura…

 

KESIMPULAN Secara filosofis, lagu ini merupakan kiasan yang bermakna bahwa perjuangan orang Madura yang mayoritas nelayan, tidak peduli malam-malam, terik matahari, musim hujan, musim kemarau, angin kencang, dan ombak yg besar, mereka terus berjuang menangkap ikan untuk menghidupi keluarga mereka meskipun nyawa taruhannya. Dari hal tersebut kita dapat mengetahui bahwa lagu yang indah ternyata juga memiliki makna yang mendalam dan pelajaran yang tak ternilai harganya. Akhir kata, saya mengajak teman-teman sekalian, dimana kita sebagai generasi muda harus melestarikan lagu daerah,agar lagu tersebut tidak hilang dan dilupakan oleh masyarakat Indonesia sendiri nantinya.

Jokotole, sang legenda Madura

jokotole

Diceritakan dalam sejarah Madura bahwa cucu Bukabu mempunyai anak bernama Dewi Saini alias Potre Koneng (disebut Potre Koneng karena kulitnya yang sangat kuning) Kesenangannya bertapa. Dengan perkawinan batin dengan Adipoday (suka juga bertapa) putera kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing masing bernama Jokotole dan Jokowedi.
Kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama Jokotole diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa Pakandangan dalam keadaan sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan putera yang kedua Jokowedi ditemukan di pademawu juga oleh seorang Empu.

Kesenangan Jokotole sejak kecil ialah membuat senjata-senjata seperti, keris, pisau dan perkakas pertanian, bahannya cukup dari tanah liat akan tetapi Jokotole dapat merubahnya menjadi besi, demikian menurut cerita. Pada usianya yang mencapai 6 tahun bapak angkatnya mendapat panggilan dari Raja Majapahit (Brawijaya VII) untuk diminta bantuannnya membuat pintu gerbang.
Diceritakan selama 3 tahun keberangkatannya ke Majapahit Empu Kelleng belum juga ada kabarnya sehingga mengkhawatirkan nyai Empu Kelleng Pakandangan karena itu nyai menyuruh anaknya Jokotole untuk menyusul dan membantu ayahnya, dalam perjalanannya melewati pantai selatan pulau Madura ia berjumpa dengan seorang yang sudah tua didesa Jumijang yang tak lain adalah pamannya sendiri saudara dari Ayahnya yaitu Pangeran Adirasa yang sedang bertapa dan iapun memenggil Jokotole untuk menghampirinya lalu Jokotolepun menghampiri, Adirasa lalu menceritakan permulaan sampai akhir hal ihwal hubungan keluarga dan juga ia memperkenalkan adik Jokotole yang bernama Jokowedi, selain itu Jokotole menerima nasihat-nasihat dari Adirasa dan ia juga diberinya bunga melati pula, bunga melati itu disuruhnya untuk dimakannya sampai habis yang nantinya dapat menolong bapak angkatnya itu yang mendapat kesusahan di Majapahit dalam pembuatan pintu gerbang.
Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang nantinya akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh karena itu nantinya ia harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya dengan pengertian jika Jokotole telah hangus terbakar menjadi arang pelekat yang keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan jika sudah selesai supaya ia segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.
Jokotole diberi petunjuk bagaimana cara untuk memanggil pamannya (Adirasa). Apabila ia mendapat kesukaran, selain mendapat nasihat-nasihat ia juga mendapat kuda hitam bersayap (Si Mega) sehingga burung itu dapat terbang seperti burung Garuda dan sebuah Cemeti dari ayahnya sendiri Adipoday.
Setelah Jokotole pamit untuk ke Majapahit sesampainya di Gresik mendapat rintangan dari penjaga-penjaga pantai karena ia mendapat perintah untuk mencegat dan membawa dua sesaudara itu ke istana, perintah raja itu berdasarkan mimpinya untuk mengambil menantu yang termuda di antara dua sesaudara itu. Dua sesaudara itu datanglah ke istana, ketika dua orang sesaudara itu diterima oleh Raja diadakan ramah tamah dan di utarakan niatan Raja menurut mimpinya, karena itu dengan iklas Jokotole meninggalkan adiknya dan melanjutkan perjalanannya menuju Majapahit.
Sesampai di Mojopahit, bertemulah Jokotole dengan ayah angkatnya yang sedang bekerja membangun gerbang kerajaan. Pembangunan gerbang baru dimulai. Tetapi tiba-tiba muncul keanehan yang tak disangka-sangka sebelumnya. Yaitu setiap bangunan hampir selesai roboh lagi. Begitu seterusnya hingga berkali-kali. Setiap dibangun lagi hendak selesai tiba-tiba roboh.

Setelah mendapat izin dari ayah angkatnya untuk menemui Raja Majapahit ia lalu ditunjuk sebagai pembantu empu-empu, pada saat bekerja bekerja dengan empu-empu Jokotole minta kepada empu-empu supaya dirinya dibakar menjadi arang bila telah terbakar supay diambilanya apa yang di bakar dari pusarnya dan itulah naninya yang dapat dijadikan sebagai alat pelekat. Apa yang diminta Jokotole dipenuhi oleh empu-empu sehingga pintu gerbang yang tadinya belum bisa dilekatkan, maka sesudah itu dapat dikerjakan sampai selesai. Setelah bahan pelekatnya di ambil dari pusar Jokotole ia lalu disiram dengan air supaya dapat hidup kembali.
Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah pintu gerbang tadi tidak dapet didirikan oleh empu-empu karena beratnya, dengan bantuan jokotole yang mendapat bantuan dari pamannya Adirasa yang tidak menampakkan diri, pintu gerbang yang tegak itu segera dapat ditegakkan sehingga perbuatan tersebut menakjubkan bagi Raja, Pepatih, Menteri-menteri dan juga bagi empu-empu, bukan saja dibidang tehnik Jokotole memberi jasa-jasanya pula bantuannya pula misalnya dalam penaklukan Blambangan, atas jasa-jasanya itu Raja Majapahit berkenan menganugerahkan Puteri mahkota yang bernama Dewi Mas Kumambang, tetapi karena hasutan patihnya maka keputusan untuk mengawinkan Jokotole dengan Puterinya ditarik kembali dan diganti dengan Dewi Ratnadi yang pada waktu itu buta karena menderita penyakit cacat, sebagai seorang kesatria Jokotole menerima saja keputusan Rajanya.
Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit Jokotole minta izin untuk pulang ke Madura dan membawa isterinya yang buta itu, dalam perjalanan kembali ke Sumenep sesampainya di pantai madura isterinya minta izin untuk buang air, karena ditempat itu tidak ada air, maka tongkat Isterinya diambil oleh Jokotole dan ditancapapkan ke tanah yang ke betulan mengenai mata isterinya yang buta itu, akibat dari percikan air itu, maka tiba-tiba Dewi Ratnadi dapat membuka matanya sehingga dapat melihat kembali, karena itu tempat itu dinamakan “Socah ” yang artinya mata.
Didalam perjalanannya ke Sumenep banyaklah kedua suami isteri itu menjumpai hal-hal yang menarik dan memberi kesan yang baik, misalnya sesampainya mereka di Sampang, Dewi Ratnadi ingin mencuci kainnya yang kotor karena ia menstruasi, lalu kain yang di cucinya itu dihanyutkan oleh kain sehingga tidak ditemukan. Kain dalam tersebut oleh orang Madura disebut “Amben” setelah isterinya kehilangan Amben maka Jokotole berkata Mudah-mudahan sumber ini tidak keluar dari desa ini untuk selama-lamanya, sejak itu desa itu disebut desa “Omben” dan ketika Jokotole menjumpai ayahnya ditempat pertapaan di Gunung Geger diberitahunya bahwa ia nantinya akan berperang dengan prajurit yang ulung dan bernama Dempo Abang (Sampo Tua Lang), seorang panglima perang dari negeri Cina yang menunjukkan kekuatannya kepada Raja-raja ditanah Jawa, Madura dan sekitarnya.
Pada suatu ketika waktu Jokotole bergelar Pangeran Setyodiningrat III memegang pemerintahan di Sumenep kurang lebih 1415 th, datanglah musuh dari negeri Cina yang dipimpin oleh Sampo Tua Lang dengan berkendaraan kapal yang dapat berjalan di atas Gunung di antara bumi dan langit.
Didalam peperangan itu Pangeran Setyoadiningrat III mengendarai kuda terbang sesuai petunjuk dari pamannya (Adirasa), pada suatu saat ketika mendengar suara dari pamannya yang berkata “pukul” maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras sehingga kepala dari kuda itu menoleh kebelakang dan ia sendiri sambil memukulkan cambuknya yang mengenai Dempo Awang beserta perahunya sehingga hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah
Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan lambang bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit sudah memperkenalkan lambang kuda terbang.
Dipintu gerbang dimana Jokotole ikut membuatnya terdapat gambar seekor kuda yang bersayap dua kaki belakang ada ditanah sedang dua kaki muka diangkat kebelakang, demikian pula di Asta Tinggi Sumenep disalah sati Congkop (koepel) terdapat kuda terbang yang dipahat di atas marmer. Juga pintu gerbang rumah kabupaten (dahulu Keraton) Sumenep ada lambang kuda terbang. Di museum Sumenep juga terdapat lambang kerajaan yang ada kuda terbangnya, karena itu sudah sepantasnyalah jika pemerintahan kota Sumenep memakai lambang kuda terbang.

Makna Dibalik Khasnya Pakaian Tradisional Madura

pakaian madura

Madura, sebuah pulau di bagian timur Jawa, memiliki baju tradisional yang khas. Model kebaya dengan warna-warna cerah dan mencolok merupakan ciri pakaian dari para wanitanya. Sedangkan para prianya mengenakan setelan longgar berwarna hitam dan kaos bergaris merah-putih. Warna dan model pakaian khas Madura tersebut mencerminkan karakter dan nilai budaya masyarakatnya.

Ciri khas kebaya yang dikenakan para wanita Madura adalah penggunaan kutang polos dengan warna-warna mencolok seperti biru terang, hijau, atau merah. Kutang yang ketat tersebut dipadukan dengan kebaya bentuk rancongan yang berbahan tipis dan menerawang. Hasilnya, keindahan bentuk tubuh si pemakai akan terlihat jelas.

Wanita Madura memang sangat menghargai keindahan tubuh. Sejak memasuki usia remaja, umumnya seorang gadis Madura sudah mulai rutin mengkonsumsi ramuan jamu dan menaati berbagai pantangan makanan demi membentuk dan menjaga keindahan tubuhnya. Sementara pemakaian warna-warna mencolok pada pakaiannya menggambarkan karakter mereka yang pemberani, tegas, dan gemar berterus terang.

Sedangkan para prianya menggunakan setelan warna hitam yang terdiri dari atasan longgar terbuka yang disebut pesa’an dan celana gomboran. Ukurannya yang longgar tersebut mencerminkan sifat keterbukaan dan kebebasan yang diusung pria Madura.

Selain setelan serba hitam, para pria Madura juga mengenakan kaos bergaris warna merah-putih atau merah-hitam. Kaos bergaris ini dipengaruhi oleh cara berpakaian pelaut dari Eropa. Motif garis dengan warna tegas tersebut memperlihatkan sikap tegas serta semangat juang masyarakat Madura dalam menghadapi segala hal dalam kehidupan.

Kripik Tette

Keripik tette adalah makanan khas kota Pamekasan, Madura, yang tidak diproduksi diluar Kabupaten lain di Madura. Keripik ini berbahan singkong yang cara membuatnya adalah dengan dipukul /ditumbuk sampai pipih/di- tette. Keripik yang berbahan singkong ini merupakan oleh-oleh khas Madura dimana harganya murah meriah. Keripik tette bisa dimakan langsung atau menjadi campuran rujak, campur, dll. Bisa juga dengan bumbu kacang yang dicampur petis dan tomat.
Cara membuat keripik tette :
1. Singkong dikupas, dicuci bersih.
2. Singkong yang telah dicuci bersih lalu direbus diberi garam.
3. Setelah matang singkongnya diiris sesuai selera.
4. Lalu dipipihkan seperti halnya membuat emping mlinjo.
5. Kemudian dijemur sampai kering.
6. Siap digoreng.

Nang Ginang Lorju’ (Rengginang Lorjuk)

Salah satu kuliner khas madura adalah Rengginang atau sebagian orang madura bilang “nang ginang”.
menurut penuturan nenek saya, rengginang adalah makanan khas daerah sumenep ujung timur madura.  Dari bentuknya nampak kalau rengginang ini terbuat dari nasi yang dikeringkan, tapi sekali lagi menurut nenek saya ini dibuat dari beras ketan.
Rengginang Lorjuk ini khas dari Pulau Madura.

Lorjuk itu sendiri adalah mollusca bercangkang ganda/kerang (clam) yang bentuknya seperti bambu tapi kecil atau biasa disebut dengan Kerang Bambu (Razor Clam).
Camilan yang terkenal gurih dan enak ini sudah sangat akrab dikalangan masyarakat Madura. Tambahan bahan dasar lorjuk membuat rasa dan aromanya sangat khas.
Sebenarnya apakah lorjuk itu? Lorjuk adalah sejenis binatang laut yang masih termasuk keluarga kerang-kerangan.

Setelah diolah, lorjuk dapat menjadi bahan untuk membuat petis dan rengginang khas masyarakat Madura. Namun camilan khas satu ini juga memiliki penggemar yang  tidak sedikit. Hampir seluruh masyarakat Jawa Timur menyukai penganan ringan ini.

 Ok, Sekarang kita akan belajar membuat rengginang Lorjuk (hehehe),Bahan :
500 gr beras ketan, rendam 2 jam
Lorjuk Secukupnya (soalnya mahal gan)
Bumbu haluskan :
5 siung bawang putih
1 sdt ketumbar sangrai
1 sdt terasi
1 bks kaldu bubuk
1/2 sdt gula pasir
air secukupnya
Cara membuat :

    • Kukus beras ketan setengah matang lalu angkat.
  • Campur rata bumbu dengan beras ketan yang dikukus.
  • Kukus beras ketan berbumbu sampai matang, jangan lupa sisipkan lorjuk (jangan banyak-banyak mahal gan)
  • Olesi tempat mencetak rengginang dengan minyak goreng.
  • Cetak dan rapikan berbentuk bulat.
  • Jemur sampai kering.
  • Rengginang siap untuk digoreng.

Silahkan dinikmati….

SEKILAS TENTANG CELURIT ASLI MADURA

A. CELURIT (AREK=B.MADURA)

Bagi masyarakat madura, CLURIT atau CELURIT tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi mereka hingga saat ini. Senjata tradisional ini memiliki bilahnya berbentuk melengkung bentuk bilah inilah yang menjadi ciri khasnya. Senjata tradisional indonesia lainnya hanya ada beberapa jenis senjata yg memiliki bilah melengkung diantaranya adalah kerambit ( sumatra ), arit ( jawa ), kujang ( jawa barat).

B. SEJARAH dan MITOS

Clurit diyakini berasal dari legenda pak Sakera / Sakerah, seorang mandor tebu dari Pasuruan yang menjadi salah satu tokoh perlawanan terhadap penjajahan belanda. Beliau dikenal tak pernah meninggalkan celurit dan selalu membawa / mengenakannya dalam aktifitas sehari- hari, dimana saat itu digunakan sebagai alat pertanian / perkebunan. Beliau berasal dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Pak sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah,Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Beliau dimakamkan di Kota Bangil. Atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.
Tindakan penjajah tersebut memimbulkan kemarahan orang-orang madura, dan mulai berani melakukan perlawanan pada penjajah dengan senjata andalan meraka adalah celurit. Sehingga celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri serta strata sosial.

C. CAROK

– Mon ta’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura
(Jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura).

– Oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi
(laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan).

-Ango’an poteya tolang etembang poteya mata
(lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).

“Carok merupakan berduel secara ksatria satu lawan satu dengan menggunakan celurit sebagai senjata tajamnya. Carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan melakukan duel / bertarung.”
Bagi lelaki Madura, seorang istri adalah simbol keberadaan dirinya. Sehingga gangguan terhadap istrinya berarti pelecehan atas keberadaannya sebagai laki- laki dan merupakan bentuk pelecehan paling menyakitkan bagi lelaki Madura. Namun demikian, carok hanya terjadi bila perasaan malu itu memang berasal dari perbuatan orang lain, bukan karena perbuatannya sendiri.
Bagi orang Madura, ini adalah masalah prinsip yang tak bisa ditawar lagi. Lebih baik mati daripada hidup menanggung malu dilecehkan. Dengan alasan untuk membela kehormatan itulah, maka orang yang melakukan carok, dianggap bagai pahlawan oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Orang yang mengalahkan lawannya saat carok, dan lolos dari kematian, dianggap sebagai oreng jago atau jagoan. Orang seperti ini, yang kemudian akan mendapat julukan sebagai oreng blater bila dilakukan secara ksatria (ngonggai) bukan menikam musuh dari belakang (nyelep)
Jika ada lelaki menganiaya perempuan sampai tewas tidak bisa disebut carok. Seorang lelaki penakut (tako’an) akan diledek sebagai keturunan dari manusia yang tidak memiliki empedu. Kaum perempuan pun biasanya menyindir tako’an dengan ungkapan, ’’Sayang, saya perempuan, andai memiliki buah zakar sebesar cabai rawit saja aku akan melakukan carok.’’
Celurit (are’ takabuwan) merupakan senjata favorit dalam tindakan carok. Celurit sangat efektif untuk membunuh mengingat bentuknya yang melengkung laksana tubuh manusia. Jika celurit diayunkan maka seluruh bagian permukaannya yang tajam bisa memperparah efek sabetan pada bagian tubuh yang rentan kematian seperti perut, leher, dan kepala.
Sejak dekade 70-an, carok telah mengalami pembengkokan makna. Dari mekanisme penegakan harga diri menuju ritus balas dendam dan penyaluran agresi semata- mata. Berbeda dengan suku Bugis yang memiliki resolusi konflik (maddeceng atau mabbaji) buat mencegah ritual balas dendam dan memutus mata rantai kekerasan.

D. JENIS & UKURAN CELURIT

Berdasarkan bentuk bilahnya, celurit dapat dibedakan menjadi :
– clurit kembang turi
– clurit wulu pitik/bulu ayam
Sedangkan ukuran clurit dikenal dg ukuran 5 ( paling kecil ) sampai ukuran 1 (paling besar )

E. STRUKTUR CELURIT

Umumnya clurit memiliki hulu (pegangan/gagang) terbuat dari kayu, adapun kayu yang digunakan cukup beraneka ragam diantaranya kayu kembang, kayu stingi, kayu jambu klutuk, kayu temoho, dan kayu lainnya. Pada ujung hulu terdapat tali sepanjang 10-15 cm yang berguna untuk ngegantung / mengikat clurit. Pada bagian ujung hulu biasanya terdapat ulir / cerukan / cungkilan sedalam 1 -2 cm.
Sarung clurit terbuat dari kulit, biasanya berasal dari kulit kebo yg tebal atau kulit sapi serta kulit lainya. Sarung Kulit dibuat sesuai dengan bentuk bilah yang melengkung, dan mimiliki ikatan pada ujung sarung dekat dg gagang sebagai pengaman. Sarung clurit hanya dijahit 3/4 dari ujung clurit, agar clurit dapat dengan mudah dan cepat di tarik / dicabut dari sarungnya. Umumnya sarung dihiasi dengan ukiran / ornamen sederhana.
Bilah Clurit menggunakan berbagai jenis besi, untuk yang kualitas bagus biasanya digunakan besi stainless, besi bekas rel kereta api, besi jembatan, besi mobil. Sedangkan untuk kualitas rendah menggunakan baja atau besi biasa. Bilah Clurit miliki ikatan yg melekat pada gagang kayu serta menembus sampai ujung gagang. Sebagaian dari clurit juga di buat ulir setengah lingkaran mengikuti bentuk bilahnya. Terkadang pada bilahnya terdapat ornamen lingkarang sederhana sepanjang bilah clurit.

F. PROSES PEMBUATAN

Sebelum mengerjakan sebilah celurit, Pandai besi biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, dilakukan ritual kecil di bengkel pande besi. Ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di musala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. Diyakini Kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah sakit- sakitan. Hingga kini, tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang.
Hal pertama yang selalu dilakukan dalam pembuatan , adalah memilih besi yang diingginkan. Untuk clurit berkualitas terbaik digunakan besi rel atau besi mobil/jeep. Batangan besi pilihan itu tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.
Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan sesuai dengan jenis celurit yang diinginkan. Penempaan dilakukan dengan ketelitian. Setelah mencapai kelengkungan yang diinginkan, clurit di gerinda dan haluskan bilahnya. Setelah dimasukkan / ditancapkan ke gagang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Dan diteruskan dengan memberikan ikatan tali pada gagang tersebut. Terahir bilah yang sudah jadi dibuatkan sarungnya dengan menggunakan kulit kebo/sapi dan telah diukir/tatah, dimana ukurana sarung disesuaikan dengan bentuk bilah tersebut. Untuk membuat clurit yang berkualitas terbaik membutuhkan waktu 2 sapai 4 minggu.

G. CELURIT dan PENCAK SILAT

Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara menggunakan celurit. Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat pemakainya. Dimana perguruan silat menggajarkan tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.